BoGaRiA
Tuesday, May 02, 2006 Jalan-jalan ke Medan

SOTO MEDAN DAN SOP TAPANULI

Kalau Anda termasuk orang yang gemar makan soto, jangan lupa mampir ke Soto Medan Sinar Pagi di Jl. Sei Deli. Pengelolanya adalah Ibu H. Yurdanis. Ia meneruskan usaha ini dari sang ayah, Bpk. Piliang.

Pada awalnya soto ini tidak seterkenal sekarang. Yurdanis yang merantau dari Padang ke Medan memulai usahanya dengan coba-coba. "Modalnya pun cuma 3 kilogram beras dan sekilo daging," jelas Evie adik Yurdanis yang kebagian tugas kasir.

Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun lamanya akhirnya soto Piliang dikenal luas warga Medan. Orang Medan sering menyebutnya sebagai Soto Sei Deli. Setiap hari warung mereka diserbu pelanggan dari berbagai lapisan. Bukan hanya rakyat biasa bahkan para pejabat pun, tak segan-segan mampir di warungnya. Kalau dulu mereka cuma punya 3 karyawan, sekarang malah sudah 12 karyawan.

Di kedai ini Anda bisa memilih soto ayam, daging, babat, usus, paru, dan limpa. Tentu dengan rasa yang sedap sekali. Kalau tidak, mana mungkin sang pemilik bisa menjual 400 - 500 piring seharinya. Jangan kaget, lewat soto ini, bisa dicapai sekitar Rp. 40 - 50 juta tiap bulan.

Begitu larisnya soto sei deli ini, sampai-sampai yang menirunya pun banyak sekali. "Untuk menjaga pelanggan, kami memasang plakat, 'Soto Medan Cabang Sei Deli' di tiap cabang kami," ungkap Evie.

Selain soto, orang Medan juga tergila-gila pada sop kambing. Coba saja datangi kedai sop kambing Al-Hamra, milik Mansyur Zubaidi (60) yang mangkal sehari-hari di Jl Tapanuli, Medan. Sop kambing warga keturunan Arab yang sudah mangkal di kawasan itu sejak tahun 80-an ini, memang lain dari yang lain.

Ternyata rahasianya ada pada bumbu. "Bumbunya masih saya datangkan dari Jedah, Timur Tengah. Untuk bunga lawang saya masih minta dikirimi dari Thailand karena bunga lawang Indonesia kurang wangi. Tapi untuk cengkeh, saya cuma membelinya dari Aceh," kata Zubaidi ayah lima anak dan kakek tiga cucu ini.

Sebelum berkecimpung langsung di kedainya, Mansyur hanyalah tukang perabotan rumah tangga. "Istri saya yang jualan sop. Saya sendiri paling-paling cuma kebagian jaga," sela Mansyur yang sempat jualan di Deli Plaza selama 3 tahun ini.

Kini pelanggan mereka tak cuma masyarakat sekitar. Artis tenar, atlet, pejabat Ibu Kota, bahkan tamu dari luar negeri pun rajin singgah di kedainya. "Pernah ada tamu dari Taiwan. Dia suka sekali dengan sop buatan saya. Sampai-sampai dia minta dibungkuskan untuk dibawa ke negerinya. Mungkin mereka senang karena warung saya sederhana dan tradisional. Ya, di sini, kan, cuma ada meja dan bangku,"papar Mansyur.

Meski laris Mansyur belum mau menurunkan kemahirannya membuat sop kepada anak-anaknya. "Mereka masih sekolah," cetus Mansyur yang tetap terus menjaga kualitas sopnya ini.

"Saya masih antre setiap pagi di Sentral Pasar supaya dapat daging yang baik yang akan dipotong."

Tak cuma itu, lanjut Mansyur, "Saya juga turun tangan sampai ke soal pencucian daging. Kalau tidak bersih, saya takut bau."
Setiap hari Mansyur menyediakan 20 kilogram daging. Daging sebanyak itu kira-kira bisa mendapatkan 200 porsi sop. Semangkuk sop dijual Mansyur Rp. 9.000. Di akhir minggu atau di hari libur, tentu Mansyur harus menyiapkan lebih banyak sop lagi.


IKAN SALE

Dari namanya sudah bisa diketahui, ikan sale adalah ikan yang dipanggang dengan asap yang banyak hingga warnanya hitam dan mengeluarkan minyak. Ikan ini merupakan makanan khas masyarakat Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan).

Salah seorang penjual ikan sale di pasar tradisional Aksara Medan, Pardomuan Harahap mengaku, sudah sepuluh tahun berjualan ikan sale."Memang, sih, jualnya nggak khusus, tetapi dengan ikan asin," ujar Harahap. Sebenarnya, lanjut Harahap ikan sale punya sejarah panjang. "Dulu pada awalnya para petani secara tidak sengaja membuat makanan ini. Suatu hari, para petani yang tengah tidur di ladang menemukan banyak ikan yang terdampar di sungai. Daripada dibuang, ikan tersebut diasapi dan diberi nama ikan sale."

Tampaknya hidangan ini bisa diterima masyarakat sekitar, maka ikan sale sekarang sengaja dibuat. Umumnya ikan yang digunakan adalah lele, belut, jurung, bahung, dan lapam. Pokoknya ikan-ikan sungai.

Harga ikan sale mulai dari Rp. 25 ribu sekilo hingga Rp. 55 ribu sekilo. Dalam seminggu Harahap mengaku bisa menjual 25 kilogram ikan sale seminggu. Sengaja ia tidak mendatangkan ikan sale lebih banyak dari itu karena ikan sale cuma bertahan sampai 2 minggu. "Lebih lama lagi, ikan sale bisa dimakan rayap," jelasnya. Di samping Harahap, ada lagi penjual ikan sale di Pasar Aksara. "Dia abang saya. Omzetnya bisa sampai 10 kali lipat saya," puji Harahap.



PAKKAT ROTAN

Selain ikan sale ada lagi makanan khas masyarakat Batak Mandailing yakni pakkat atau rotan (pucuk rotan, Red.). Penganan ini berbentuk mirip bambu-bambu kecil. Dijualnya hanya pada bulan puasa. Jangan mengira rotan yang bisa disantap ini sama dengan rotan yang dijadikan kursi atau meja. "Rotan yang ini adalah jenis rotan getah," kata Panggabean, salah seorang penjual di Simpang Aksara.

Tanaman rotan getah ini biasanya tumbuh liar di hutan-hutan dan tepi sungai. Menyantapnya tak bisa mentah-mentah, melainkan dibakar dulu. Kulitnya dikupas dengan pisau atau tangan. "Nah, daging pohon yang berwarna putih itulah yang disantap. Bentuknya berlapis-lapis menyerupai rebung bambu," kata Beno Sakti Siregar pedagang pakkat yang lain.

Namanya juga pucuk rotan tentu saja rasanya tak gurih atau manis. "Rasanya justru lebih pahit dari daun pepaya atau pare. Makanya, lebih enak dimakan pakai saus atau sambal," saran sang penjual.

Meski pahit, peminatnya banyak. Maklum pucuk rotan amat dipercaya mampu menambah tenaga, mengobati darah tinggi, rematik, dan menguatkan otot, apalagi kalau dimakan secara rutin.



LEMANG TEBING TINGGI

Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara (80 km tenggara Medan, Red.) terkenal dengan lemangnya. Maka, tak salah kalau kota ini disebut kota lemang. Di kawasan Jl Tjong A Fie (kini Jl KH Ahmad Dahklan) terdapat puluhan pedagang lemang degan gerobak sorongnya menjajakan jualannya mulai pukul 15.00 sore sampai 21.00 malam.

Sofia Maya (28) salah seorang pedagang lemang mengaku, setiap hari bisa menjual 400 batang lemang. Untuk itu ia membutukan 80 kilogram beras ketan per harinya. "Tapi kalau bulan pauasa bisa sampai 3 kali lipat," tambahnya.

Lemang Sofie terkenal dengan sebutan lemang batok. Konon sang neneklah yang pertama kali memperkenalkan hidangan khas tanah Minang ini ke daerah Tebing Tinggi. Hj Upik Nareh Sikumbang (84), sang nenek sudah membuka usaha lemang di kawasan ini sejak tahun 40-an. "Saat itu Nenek cuma bermodalkan 3 kilogram ketan," ungkap Sofie.

Sungguh tidak mudah berjualan lemang saat itu, jelas Sofie. Sang nenek sering kali harus berhadapan dengan Belanda yang mengejarnya. Tetapi, karena ingin mempertahankan hidup, nenek tetap berjualan. "Hingga hasilnya bisa kami nikmati turun- temurun."

Karena jualan lemang bisa menghasilkan maka sebagian masyarakat sekitar Tebing Tinggi mengikuti jejaknya. Walhasil, pedagang lemang di kawasan Tjong A Fie selalu ramai. Harganya relatif murah, antara Rp. 5 - Rp. 10 ribu per batang. Daya tahannya bisa mencapai satu minggu.

ANYANG


Santapan ini sebenarnya khas Melayu. Tetapi pencintanya dari berbagai etnis. Bahkan, ada pedagang asal Minang yang berniat "memodifikasi" resepnya agar pas dengan selera Minang. Makanan ini banyak dijumpai di restoran-restoran masakan Minang-Melayu. Bahkan jika datang bulan puasa, setiap pedagang makanan kaki lima tak pernah luput menjual makanan ini. "Habis, cocok untuk tradisi buka puasa,"cetus Farida Hanum salah seorang pedagang rumah makan yang khusus menyediakan menu anyang.

Pada bulan puasa biasanya pedagang berjualan mulai kawasan Jl Amaliun, Glugur, Simpang Limun, Serdang, Gatot Subroto serta di seputar kampus USU Medan. Anyang sebetulnya mirip urap. Hanya saja bumbu kelapanya disangrai seperti serundeng. Bumbu dasarnya tetap mirip yakni, bawang merah, serai, daun jeruk, dan ketumbar. Semuanya dihaluskan lalu disangrai bersama kelapa.

Jenis anyang cukup banyak. Ada anyang rawa, anyang umbut pisang, anyang paku alias pakis, anyang taoge, anyang rotan alias kepa, dan anyang rebung. "Nama-nama itu cuma untuk membedakan bahan bakunya saja,"tutur Hanum. Anyang biasanya dimakan dengan bubur pedas. "Tapi kalau tak ada bubur, untuk lauk nasi juga pas. Selain untuk dimakan sehari-hari anyang juga sering hadir di pesta.

Menjual anyang tentu banyak untungnya. Dengan Rp. 50 ribu, bisa diperoleh 3 sampai 4 kali keuntungan. Jadi, kalau modalnya Rp. 500 ribu, hitung sendirilah keuntungannya.

R.M. SIBOLGA

Tak pernah terpikir oleh H. Abdul Latief (61) nelayan kelahiran Singkil, Aceh Selatan ini untuk menjadi pengusaha rumah makan Sibolga yang sukses di Sibolga. Selain dirinya, adik serta abangnya pun membuka rumah makan yang sama. "Jadi di Medan ini ada 4 rumah makan yang masing-masing dimiliki oleh kami berempat," kata Latief yang merupakan kakak tertua ini.

Sepanjang hari orang-orang banyak menyerbu rumah makan ini. Mulai dari warga biasa, karyawan, bahkan pejabat antre memarkir mobilnya di setiap rumah makan Sibolga.

Awalnya, rumah makan Latief yang berdiri sejak tahun 1972 ini diberi nama Nasrul, diambil dari nama putra bungsu mereka. Pasalnya, begitu Nasrul lahir, rumah makan ini mendadak maju pesat. Pertama berdirinya di Sibolga. Karena maju pesat, maka Latif mengalihkannya ke Medan.

Kunci kesuksesannya antara lain adalah kepandaiannya dalam memilih ikan segar. "Kepandaian saya itu berhubungan dengan profesi saya yang dulu yaitu sebagai nelayan," ucapnya.
Menu yang tersaji di RM Nasrul sangat khas dan spesifik. Mulai ikan geleng, sambal pete, gulai kepala ikan kakap, sampai ikan pale. Tetapi hidangan yang paling dicari orang adalah ikan kembung kuring. "Hidangan ini betul-betul harus berasal dari ikan yang segar. Warnanya harus mengkilat dan masih keras. Insangnya pun harus segar warnanya," jelas Latief.

Ikan kembung lalu dibuat menjadi ikan isi. Bumbunya tidak jauh beda dengan otak-otak bandeng, yakni, bawang merah, bawang putih, ketumbar, dan irisan daun bawang serta seledri. Tentu ditambahkan juga telur dan garam. Yang membedakan, ikan digoreng dua kali. Penggorengan terakhir dilakukan setelah ikan dibalut telur.

Meski termasuk hidangan laris, tetapi Latief hanya menyediakan hidangan ini dua kali dalam seminggu yakni hari Senin dan Kamis. Harga satu ikan Rp. 3.000. Masing-masing R.M. Sibolga bisa menjual sampai 150 ekor dalam sehari. Tak heran, karena hidangan ini bukan cuma digemari penduduk Medan, tetapi juga orang Jakarta dan penduduk negeri tetangga yang kebetulan berkunjung ke Medan.

Boleh dibilang semua hidangan yang ditawarkan, laris manis. Buktinya banyak pemesan datang dari hotel berbintang di Medan. Bahkan, hampir pada setiap acara keluarga dan kantor, selalu ada saja satu atau dua hidangan keluaran restoran ini. Karena, selain harganya murah rasanya lumayan gurih dan pas di lidah.

DURIAN MEDAN

Durian Medan terkenal dengan aroma dan rasanya yang sangat legit. Selain itu harganya juga sangat murah dibanding durian Jakarta. Harga durian Medan ukuran super berkisar Rp. 4 ribu - Rp. 10 ribu per buah bila sedang musim. Tetapi bila tiba "musim gantung", alias sedang tidak musim, harganya bisa mencapai Rp. 15 ribu. Durian yang dijual berasal antara lain dari Sibolga. Bahorok, Nias, hingga Aceh.

Ada beberapa kawasan di sekitar Medan yang banyak menjual durian. Yakni di kawasan Jl H. Adam Malik atau dikenal dengan kawasan Glugur By Pass, Peringgan, dan kawasan Kampung Lalang (Sunggal). Kawasan yang terakhir ini agaknya tak pernah sepi dari penjual durian. Setiap hari ada saja penjual durian. Mereka melengkapi tenda dengan lampu petromaks dan bangku panjang untuk para pembeli yang ingin makan di tempat.

Selain bisa makan di tempat. Durian juga bisa dibawa sebagai oleh-oleh. Karena itu tiap pedagang menyediakan boks yang terbuat dari plastik kedap udara berukuran 15 x 10 cm. Isinya memuat 10 hingga 12 butir durian dengan harga Rp. 50 ribu per boks. Untuk menjamin udara tidak dapat masuk, diluar pembungkus diberi lak ban. "Soalnya udara yang masuk dapat mempengaruhi rasa durian," kata seorang pedagang.


Durian yang dikemas dalam wadah tertutup ini memiliki daya tahan sampai tiga hari lebih. Selain itu, apabila dibawa atau dikirim dengan jasa penerbangan aromanya juga tidak mengganggu orang sekitar.

RM MANDAILING SRI RESTU

Rumah makan Mandailing Sri Restu termasuk salah satu rumah makan khas Batak yang terkenal di Medan. Pengelolanya adalah Nana Nasution. Ia sudah sepuluh tahun lebih mengurus restoran yang sebelumnya bernama Restu Ibu ini.

Masakan yang jadi favorit di Sri Restu adalah daun ubi (singkong) yang ditumbuk lalu dimasukkan ke dalam perut ikan mas. Tak cuma itu masakan dari ikan yang ditawarkan restoran ini. Anda juga bisa mencoba ikan mas arsik, ikan sale yang digulai atau digoreng, serta sambal tuk-tuk.

Sehari-hari rumah makan yang dibuka sejak pukul 09.00 pagi hingga pukul 22.00 malam ini ramai dikunjungi masyarakat. Mulai dari masyarakat biasa, pejabat, hingga artis. "Biasanya mereka datang berombongan. Saya
sendiri tidak tahu apa istimewanya restoran saya. Yang jelas kami menyediakan masakan Medan asli. Hingga orang dari luar Medan tidak repot mencari ke mana-mana," cetus Nana yang enggan menyebut omzet restonya itu.

JAMBU BIJI TENG-TENG

Sebenarnya ini adalah manisan jambu biji biasa. Penjualnya umumnya para keturunan Cina. Dulu jambu biji teng-teng yang terkenal ada di kawasan Jl. Garut. Namun, "Sekarang sudah banyak dijual di pasar-pasar bahkan di plaza," kata Merry salah seorang pedagang jambu biji teng-teng di Jl Garut. Menurutnya,usahanya ini sudah berdiri dua puluh tahun lalu.

"Awalnya, mertua saya yang jual jambu biji ini. Diteruskan pada suami saya. Saya sendiri cuma ikut menjualkan," aku ibu tiga putra ini. Manisan jambu yang dijualnya, dibuat sendiri. "Jambunya adalah jambu Taiwan. Rasanya lebih enak, makanya penggemarnya pun banyak," papar Merry yang sudah punya pemasok langganan ini.

Jambu-jambu itu kemudian direndam dalam larutan gula yang sudah dibubuhi pewarna mekanan dan tepung orange. Lama perendaman hanya beberapa jam saja untuk jambu yang sudah dikupas. Sementara untuk yang belum dikupas, harus direndam sampai dua malam. "Kalau yang tanpa kulit direndam terlalu lama, rasanya pasti tak renyah lagi," kata Merry.

Sehari Merry membuat 50-100 buah manisan jambu biji. "Jumlah segitu bisa habis semua. Umumnya yang beli datang dari luar kota," tambah Merry yang juga berjualan rujak dan minuman segar ini.

Satu buah jambu teng-teng tanpa kulit dihargai Rp. 2000 per buah. Tetapi Anda bisa membayar lebih murah kalau beli plastikan. Satu plastik berisi 2 buah jambu, harganya Rp. 3500. Bagaimana dengan yang berkulit. "Satunya Rp. 2.500," cetus Merry.

RUJAK KOLAM

Selain jambu biji teng-teng, di Medan masih ada kawasan penjual rujak kolam Sri Deli. Kawasan penjual rujak ini sudah ada sejak tahun 45-an. "Kawasan ini, kan, memang berdekatan dengan Mesjid Raya, Istana Maimoon dan Kolam Sri Deli. Jadi, Sultan Deli, keluarga dan kerabatnya. Bila sore hari selalu singgah kemari duduk-duduk sambil makan rujak. Makanya, rujak ini kami sebut rujak kolam "Sri Deli," ujar Afrizal (46), salah seorang pedagang rujak berlabel Rujak Takana Juo. Ia mewarisi usaha orang tuanya turun-temurun.

"Mulanya kakek saya yang berjualan, lalu Bapak dan kini saya yang meneruskan sejak tahun 80-an," kenangnya. Apa, sih, keistimewaan rujak kolam ini? "Sebenarnya bumbunya sama seperti yang lainnya. Cuma rujak kami rata-rata bumbunya ditambahkan pisang klutuk atau pisang batu. Maksudnya, kalau makan rujak orang,kan,sering sakit perut atau mules. Nah, pisang ini gunanya menghilangkan rasa mules tadi," urai Afrizal.

Di Kawasan sepanjang Jl Mesjid Raya persis di depan kolam Taman Sri Deli ada enam pedagang rujak yang mangkal. Dulunya ada 25 pedagang. "Yang lain sudah merantau ke Malaysia. Lagi pula sejak kami jualan di sini sudah banyak orang yang mengikuti jejak kami," kata Afrizal. Sebungkus rujak harganya Rp. 4.000. "Padahal dulu cuma Rp. 150, lo."

Dari berjualan rujak ini Afrizal bisa mengantongi Rp. 300 ribu per hari. Dengan uang itu," Saya bisa menyekolahkan kelima anak saya."

DODOL TANJUNG PURA

Awalnya dodol Tanjung Pura di Desa Paya Prupuk, di jalan Lintas Medan - Aceh dirintis oleh M. Isa. Tetapi usaha tersebut tak lagi jalan setelah diteruskan sang anak. Kini muncul perintis baru yakni H. Syahrul Hasti
(56) . Dodolnya diberi nama "Pak Ul". Jenisnya macam-macam, dari dodol labu, dodol kacang merah, dodol nangka, sampai dodol durian.

Selain dodol, Pak Ul juga membuat makanan khas Langkat seperti kue karas, punai aram, putu kacang, wajik, kue bawang, keripik tempe, rengginang, kacang tojin, kue marke ala India/Brazil, dodol labu, dodol kacang merah, dodol nangka, dodol durian, serta wajik nanas.

"Yang membuat penduduk sekitar sini juga. Kami menjualnya ke daerah-daerah seperti Aceh, Pakan Baru, Padang, dan Jakarta," jelas Ucok, anak Syahrul.

Sekarang para pekerja itu sudah mandiri. "Ada sekitar 43 kios di sekitar kediaman kami yang menjajakan makanan khas Melayu ini, terutama dodol Tanjung Puranya. Kami, sih, nggak marah. Sebab kami punya penggemar sendiri," lanjut Ucok yang selalu menjaga mutu dodol dan kualitas bahannya itu.

Dodol khas Tanjung Pura memang lain dari yang lain. Kemasannya pun berbeda. Kalau dodol biasa dibungkus dengan plastik. Dodol Tanjung Pura dibungkus dengan upi atau daun pinang. Nah, dengan pembungkus upi ini, ketahanan dodol bisa sebulan.

Harga dodol bungkus upi berkisar dari Rp. 250 hingga Rp. 2.500 per bungkus. Sedang yang dibungkus plastik dijual dengan harga Rp. 2000 per plastik. Seplastik berisi 200 gram dodol.

Sehari Syahrul memasak 5 kuali dodol. Satu kuali berisi 15 kilogram ketan. Untuk mengerjakan dodol sebanyak itu Syahrul dibantu 10 orang tenaga kerja. Meski sudah begitu banyak, toh, Ucok mengaku kadang tidak bisa memenuhi permintaan pembeli. "Tetapi apa boleh buat kami tidak punya tenaga." Karena itulah, khusus menjelang Lebaran, para pemesan harus sudah ngorder sebulan di muka. Bahkan, kata Ucok, beberapa tahun sebelumnya ia pernah mengerjakan pesanan yang begitu banyak hingga sehari harus masak 100 kuali.

Kedai Pak Ul buka setiap hari sejak pukul 08.00 hingga pukul 20.00. "Soalnya yang datang cukup banyak. Mereka tak cuma gemar makan dodol, tetapi juga kue karas, punai aram, dan rengginang. Banyak juga pembeli dari Malaysia, Australia, dan London. Jadi, kalau kami tutup sore-sore, ya, tetap saja ada yang menggedor," papar Ucok.

MIE TIAU MEDAN

Hampir di setiap sudut kota Medan, ada saja restoran, warung makan, dan kaki lima yang menjajakan mie tiau (kuetiaw, Red.). Salah satu pedagang mie tiau terkenal di Medan adalah Machmud Siregar. Rumah makannya yang terletak di Jl Abdullah Lubis, persis di depan Masjid Abdullah Lubis. Selain mie tiau, Machmud juga menjual sekitar 76 masakan lain di warungnya.

"Dulu warung saya cuma sederhana saja. Namun, sejak tiga bulan lalu saya buka lagi warung baru di sebelah warung terdahulu. Bahkan seminggu ini saya ada program menerima pesanan untuk katering," ujar pria yang masih terlihat gagah ini.

Campuran bumbu kuetiaw hanyalah bawang putih, bawang merah, merica, cabe giling, dan jahe. Agar lebih sedap lagi ditambahkan daun bawang, kol, sawi, dan tomat. Semua bumbu itu ditumis lalu ditambahkan telur. Setelah itu baru dimasukkan mie tiau, kecap, dan bumbu penyedap.

Sebagai pelengkap, ditambahkan kerupuk, timun, dan ayam yang disuwir-suwir atau udang, dan bakso. Mie tiau biasa disantap bersama acar. "Acarnya harus dibuat sejak malam hari supaya meresap," jelas Machmud.


ES CAMPUR MEDAN

Salah satu penjual es campur Medan yang terkenal adalah pasangan suami istri Darbi dan Fadilah, warga Perumnas Simalingkar. Sehari-hari
ia jualan di Pasar Petisah Medan. Darbi yang tahun ini menunaikan ibadah haji bersama istrinya ini, sudah empat belas tahun menekuni usaha es ini. Mulai dari es campur, es koteng, es tebak, dan berbagai jenis juice.

Es campur Medan berisi cendol, lengkong atau cincau, delima, nangka, jagung, kacang merah, dan tape. Semuanya disantap bersama larutan gula aren dan santan. Menurut Ucok, dalam sehari es campur laku hingga 100 - 300 gelas. "Harga per gelas es campur Rp. 2000." Namun seorang pembeli yang sempat ditanyai Sedap Sekejap menyebutkan es campur buatan Darbi memang istimewa. "Gulanya tampaknya betul-betul gula aren asli. Santannya pun kental, jadi, terasa gurihnya."
BIKA AMBON

Bika Ambon sudah identik dengan kota Medan. Buktinya, para pendatang selalu menjinjingnya sebagai oleh-oleh. Tapi tahukah Anda bagaimana riwayat Bika Ambon ini? Menurut Joni (30), anak pengusaha Bika Ambon "Ati" yang sangat terkenal di Jl Mojopahit No. 11 J & F mengaku, ibunya termasuk perintis penjual bika ambon di Medan.

"Waktu itu, "Saya masih SD saya sudah bantu-bantu ibu berjualan di Pasar Petisah. Harga per potongnya saat itu cuma Rp. 50 saja dan sekotak Rp. 2.500. Sekarang sepotong sudah ada yang dijual Rp. 500 dan sekotak Rp. 25 ribu," jelas Joni lancar.

Walau riwayat kedatangan bika ambon di Medan sendiri tak begitu jelas. Tapi, lanjut Joni, "Ibu pernah bilang ada seorang warga Ambon yang merantau ke Malaysia membawa kue bika ini. Cuma, setelah tahu rasanya enak. Orang itu bukan kembali ke Ambon lagi, tetapi singgah di Medan. Sehingga sejak empat puluh tahun lalu bika ambon ini jadi terkenal di Medan," urainya.

Kini Anda dapat mencari bika ambon di kawasan Jl Mojopahit. Tak kurang dari 20 penjual bika ambon meramaikan jalan yang lumayan panjang ini. Begitupun bika ambon masih bisa dijumpai di Jl Asia, Jl Sumatera, Jl Kangkung, dan Jl Sekip. Bahkan, di setiap toko kue pasti ada bika ambon.

Jika hari biasa bika ambon Ati bisa terjual 50 - 100 kotak. Namun di hari besar seperti Lebaran atau Tahun Baru, omzet jualnya bisa sampai 3 kali lipat.

Joni sendiri tidak mengetahui mengapa orang begitu gandrung dengan bika ambon. Mungkin saja, katanya, karena rasanya manis dan gurih. Daya tahannya pun cukup lama. "Bisa sampai 4 hari, lo," tandasnya.

Untuk memudahkan para pelanggan, Joni sudah menyiapkan kotak khusus untuk mereka yang berminat membawanya ke luar kota. Ada yang muat untuk 2 dus kue. Ada pula yang sampai 10 dus.

SIRUP MARKISA

Sama seperti bika ambon, sirup markisa, pun dianggap sebagai oleh-oleh khas dari Medan. Adalah Suwandi Onggo (68) yang memulai usahanya membuat syrup di Jl Medan - Brastagi Km 62, Peceren Desa Sempa Jaya, Brastagi (Sumut). Onggo sendiri sekarang sudah meneruskan usaha pada anak-anaknya, Peggy dan Edwin Onggo.

Sirup markisa Onggo yang terkenal memakai nama Pyramid Unta. Awalnya, usaha ini dikelola orang Belanda. Namanya sirup Cap Kalkun. "Tetapi saat itu sirup markisa hanya dibuat sekadarnya. Sekarang kami mengolahnya dengan profesional. Maka namanya pun diganti jadi Pyramid Unta," jelas Peggy.

Buah markisa sendiri diperoleh keluarga Onggo dari Tanah Karo, asal domisili Onggo, Dairi, Samosir, Solok, dan Ujung Pandang."Di Tanah Karo tumbuhan ini malah kami budi dayakan, lo. Tetapi hasilnya masih terbatas. Karena itulah kami juga bekerja sama dengan petani dalam hal pengadaan bibit," kata Peggy.

Masih banyak sirup markisa lain yang beredar di Medan. Namun Peggy menyebutkan tak khawatir perusahaannya tergeser. "Soalnya kami selalu menjaga mutu. Gulanya adalah gula murni," tegasnya.

Kala markisa sedang musim, mereka mengumpulkan sari markisa. Sari ini diperoleh dari daging buahnya. Kalau sedang musim, sehari mereka bisa membuat 60 ton sari markisa. "Tetapi kalau sedang tidak musim, paling-paling 15 ton per hari," lanjut Peggy yang sudah memiliki 50 karyawan.

Untuk memudahkan orang membawa oleh-oleh markisa, Onggo sudah mempersiapkan sirup ini dalam bentuk DO. Hingga orang tak perlu menenteng markisa yang berat itu ke luar kota sebagai oleh-oleh. "Para pembeli tinggal menukarkan DO yang kami buat di kota tempat kita berada."

Selain sebagai oleh-oleh, orang Medan senang menyuguhkan sirup ini di kala Lebaran atau Tahun Baru. "Makanya permintaan di saat-saat itu atau di bulan puasa meningkat banyak."

Harga satu botol markisa Rp. 6.000. Markisa Super harganya Rp.8.000 per botol, sedang jus markisa harganya Rp. 6.000 per botol. Untuk dua liter sirup markisa kualitas super harganya Rp. 32.500 satu derigen.


Selain sebagai oleh-oleh, orang Medan senang menyuguhkan sirup ini di kala Lebaran atau Tahun Baru. "Makanya permintaan di saat-saat itu atau di bulan puasa meningkat banyak."

Harga satu botol markisa Rp. 6.000. Markisa Super harganya Rp.8.000 per botol, sedang jus markisa harganya Rp. 6.000 per botol. Untuk dua liter sirup markisa kualitas super harganya Rp. 32.500 satu derigen.

Kini Pyramid Unta juga mengeluarkan sirup markisa dengan berbagai rasa, seperti orange, leci, melon, strawberry, dan rasberry. "Tetapi yang laku, sih, biasanya orange dan melon," ungkap Peggy.

Sejak tahun '95, sirup markisa sudah dijual di luar negeri seperti Inggris dan Singapura. Makanya, dalam sebulan mereka bisa menjual 300 - 400 lusin botol sirup markisa.
MI KELING

Meski resepnya asli made in India, masakan ini seolah sudah jadi hidangan khas Medan. Bahkan, kalau ada pelancong lokal maupun luar negeri mampir ke Medan pasti minta dibelikan Mi keling khas Medan ini.

Tetapi bagi Anda yang pendatang baru di Medan, jangan coba-coba mencari mi keling karena yang tertulis di gerobak hanyalah mi rebus. Jadi mengapa disebut mi keling? Penyebabnya cuma karena penjualnya adalah orang-orang Keling, dari kawasan selatan Negeri India.

Pedagang mi keling bisa ditemukan di seputar kawasan Medan. Seperti, Jl Pagaruyung yang sejak sore hingga pagi hari menjadi kawasan jajanan malam bagi masyarakat Medan. Salah satu penjualnya adalah Zainuddin. Ia menjajakan dagangannya di tepi Jl. Kartini, persis di belakang Hotel Tiara Medan.

Bahan dasar mi ala Zainuddin sama seperti mi rebus biasa. Namun ke dalamnya ditambahkan taoge, selada, irisan kentang, tahu, ketimun, telur, serta ditaburi seledri dan kerupuk. Sebagai pelengkap, bisa ditambahkan perkedel jagung atau rempeyek. Semua itu disiram dengan saus khusus.

Saus inilah yang memberi ciri khas pada mi keling. Bahan dasarnya terdiri dari udang giling plus bumbu-bumbu lain. Untuk mengentalkannya digunakan tepung kanji. Bumbu saus mi keling memang istimewa. Konon, resepnya juga asli diciptakan nenek moyang masyarakat Keling di India.

Menurut cerita ibu Zainuddin, resep ini memang diturunkan dari nenek moyangnya. Dulu, di India, mereka berusaha menciptakan jenis masakan yang murah dan praktis, sekaligus enak. Dengan meramu berbagai bumbu, terciptalah masakan mi ini.

Dari harga jual Rp. 1.000 sekarang Mi Keling sudah jadi Rp. 3.500 per porsi. Setiap hari dagangan Zainuddin bisa laku 200 - 300 piring. Untuk itu dibutuhkan kira-kira 10 kilogram mi. Satu kilogram mi bisa menghasilkan 15 piring. Tak jarang pula Zainuddin mendapat rezeki nomplok berupa pesanan borongan.

"Misal, untuk arisan atau pesta-pesta yang diadakan perusahaan. Biasanya, mereka pesan satu gerobak,lo," ungkap Zainuddin. Pada hari-hari khusus, seperti Lebaran, Tahun Baru, atau Imlek pesanan tambah banyak. "Kalau sudah begitu, saya harus kerja ekstra sampai-sampai tidak bisa tidur nyenyak. Tapi, begitulah yang namanya rezeki pantang ditolak. Apalagi datangnya, kan, tak rutin," papar Zainuddin.

Zainuddin dan para pedagang Mi Keling ini rata-rata mengatakan keuntungan yang diperoleh dari Mi Keling ini cukup untuk menghidupi keluarga mereka. "Berkat mi ini, kami bisa menyekolahkan anak-anak," kata Zainuddin. Warga yang sehari-hari tinggal di kawasan Kampung Keling ini juga sering mengajak anaknya ikut jualan. "Setidaknya,saya ingin meneruskan resep warisan nenek moyang kami ini," ujar Zainuddin.

NANI ARSIK, NANI LOMANG DAN IKAN MAS NATI NOMBUR

Nani arsik, nani lomang, dan ikan mas nati nombur, bukan hanya dijual di rumah-rumah makan khas daerah saja. Masakan khas daerah Batak ini juga sudah merambah ke restoran Kuta Raja di Hotel Tiara Medan. Bahkan, pihak hotel tak segan-segan menampilkan menu yang kabarnya jarang disediakan oleh rumah-rumah makan khas daerah di Medan.

Masakan khas Batak Toba ini bahan utamanya bisa dari ikan mas, ikan nila, ayam, atau daging. Nah, bumbu-bumbunya ini asli dari tetumbuhan Batak sehingga dia dinamakan masakan khas Batak. Misalnya, bawang Batak, arsik, andaliman, kincung, kemiri, lengkuas, kunyit, dan bawang merah. Cara memasaknya tergolong unik.

"Ikan arsik, misalnya. Masyarakat Batak biasanya memasak ikan ini tanpa dibersihkan sisiknya. Ikan dilumuri bumbu dulu baru diungkep sampai matang. Setelah matang pun, tidak boleh dibuka supaya keharumannya tetap terjaga," jelas Bachriun, executive cheff restoran Kuta Raja Hotel Tiara Medan, didampingi Femi Indriani, public relation officer.

Bahkan, lanjut Bachriun, akan lebih enak lagi kalau dimasak secara tradisional menggunakan kayu bakar. "Memasaknya cukup lama sampai-sampai tulang ikan pun hancur hingga bisa dimakan. Karena tulang ikan mas itu, kan, halus-halus,"jelas Bachriun mantap.

Nah, masakan Batak Toba yang bukan ikan, salah satunya adalah nani lomang. Bahan dasarnya ayam atau daging giling. "Digilingnya pun agak kasar, tapi jangan terlalu halus. Daging dimasak dengan campuran bumbu bawang putih, bawang merah, dan santan kental," kata Bachriun.

Setelah dicampur bumbu, lantas dimasak dalam bambu muda. Maksudnya, "Dibakar seperti lemang. Waktu masaknya relatif singkat. Cukup satu setengah menit. Makanya aroma bambu harus terasa," ujar Bachriun mantap.

Ikan Mas Nati Nombur mirip dengan arsik. Cuma bumbunya tanpa kunyit. Setelah bumbu digiling, lantas disiram di atas ikan dan siap dibakar.

Selain masakan khas Batak, juga ada masakan pepes ikan yang dipanggang dari Melayu. "Pepes ikan ini masakan khas Melayu. Ikan yang dipepes biasanya ikan sembilang, ikan patin, ikan jurung, tuka-tuka (pari kecil, Red.), dan ikan bawal. Pokoknya semua jenis ikan yang terdapat di sungai dan laut." Aku Bachriun yang diiyakan Taufiq Hidayat, food & beverage manager. Bumbu pepes ikan ini sama seperti memasak pepes ikan dari daerah lain.
sdp@ kiriman Debby Safinaz

Posted by imelda :: 3:18 PM :: 0 comments

Post / Read Comments

---------------oOo---------------