BoGaRiA
Tuesday, May 02, 2006 Jalan-jalan ke Cirebon

NASI JAMBLANG
Nasinya biasa saja, tidak berbumbu. Tetapi karena dibungkus dan disajikan di atas daun jati, nasi ini menjadi istimewa. Bahkan orang Cirebon sendiri menyukainya. Boleh dibilang Nasi Jamblang favoritnya jajanan Cirebon. Buktinya kedai nasi jamblang bertebaran di berbagai jalan di kota Cirebon, baik siang maupun malam. Namun yang paling beken adalah Warung Nasi Jamblang Mang Dull. Letaknya di daerah Gunung Sari, tepatnya di jalan Dr. Cipto Mangunkusumo tepat di seberang supermarket Matahari.
Setiap hari, sekitar pukul 6 - 8 pagi pasti terlihat jubelan orang yang tengah menikmati nasi jamblang sebagai sarapan pagi di warung Mang Dull. "Nanti ramai lagi sekitar jam makan siang," tutur Sobari (35 th), pengelola warung tersebut.
Sobari bersama adiknya Mustopa sudah 5 tahun meneruskan usaha warung ini setelah Abdul Rojak, ayah sekaligus sang pendiri meninggal dunia pada tahun 1994. Nama Mang Dull diambil dari nama sang ayah yang merintis penjualan nasi jamblang ini sejak awal tahun 1970 dengan berjualan secara keliling.
"Dulu Bapak cuma menjual sekitar 50 bungkus sehari", tutur Sobari mengenang. Tetapi setelah mendapat bantuan kredit dari salah satu bank, Mang Dull bisa mangkal di dekat kolam renang dan Stadion Gunungsari yang kini menjadi pusat perbelanjaan Grage Mal.
Harga satu pincuk nasi jamblang hanya Rp 300. Umumnya orang makan beberapa pincuk. Lauk-pauk yang menemani sambal goreng, sayur tahu, tempe goreng, telur dadar, perkedel kentang, dan perkedel kelapa yang disebut cemplung, otak sapi goreng, tahu goreng, dendeng, atau rendang jeroan.
Jika masih kurang, tersedia beberapa jenis pepes seperti pepes usus ayam, jamur, rajungan, dan ikan asin renyah yang disebut penjelan. Masing-masing lauk berkisar antara Rp 300 sampai Rp 1.500.
Karena begitu ramainya pengunjung, Sobari sengaja hanya membuka warungnya sejak jam 4 pagi hingga jam 2 siang. "Nanti terlalu capek mas. Selain itu juga berbagi rezeki dengan warung nasi jamblang lainnya yang buka sore atau malam hari", jelas Sobari yang menghabiskan 1 kuintal beras setiap harinya.
Di malam hari Anda bisa menyantap nasi jamblang di sepanjang Jl. Tentara Pelajar. Ada sekitar 18 warung di situ. Salah satunya warung Pak Sahir. "Di sini menunya lebih lengkap", ujarnya berpromosi. Memang lauk-pauk yang tersedia lebih beragam antara lain, ayam goreng, gulai cumi, rendang jeroan sapi, pepes sumsum telur rajungan, plus menu standar yang sudah disebutkan sebelumnya. Warung-warung ini umumnya buka sejak jam 1 siang hingga jam 4 dini hari.

NASI LENGKO
Selain nasi jamblang ada juga jenis nasi lainnya yang juga digemari masyarakat Cirebon, yaitu nasi lengko. Meskipun berbahan dasar sama, yaitu nasi, penyajian dan lauknya berbeda.
Nasi lengko agak sulit ditemukan di tempat lain kecuali di Jl. Pagongan, Cirebon. Warung milik H. Barno ini sudah 11 tahun berdiri dan buka setiap hari sejak pukul 6 pagi hingga 9 malam. Meski "cuma" warung, kapasitas pengunjung sampai 100 orang. "Tapi berjualannya sudah sejak tahun 70-an," tutur Hj. Yayah Rukiyah, istri Barno.
Awalnya memang hanya ikut-ikutan membantu kakak iparnya yang menjual nasi lengko. Setelah memiliki modal, Barno mendirikan warung nasi lengko sendiri. Kini sehari ia harus menyediakan 40 kg beras untuk melayani para pelanggannya.
Nasi lengko sebenarnya mirip dengan nasi pecel. Isinya berupa nasi yang di atasnya diberi irisan kecil timun, taoge, daun bawang, irisan tempe, dan tahu. Kemudian disiram dengan bumbu kacang yang lumayan pedas beserta taburan bawang goreng. Nasi lengko kurang lengkap jika tidak dinikmati dengan sate kambing. Satu porsi nasi lengko mencapai Rp 4.000, sedangkan sate kambing mencapai Rp 6.000 per sepuluh tusuk.
Lantas apa, sih, sebenarnya rahasia nasi lengko. "Semuanya dikerjakan secara tradisional," jelas Yayah. Untuk menanak nasi, ia menggunakan kayu bakar. Untuk menggoreng tahu atau tempe digunakan anglo (kompor tradisional) yang menggunakan arang. Memang cukup repot, "Tapi ini demi mempertahankan rasa", ujarnya lagi. Selain itu, tempenya didatangkan dari Wanasaba, Kabupaten Cirebon yang khusus membuat tempe untuk nasi lengko yang berbentuk kotak-kotak kubus kecil sepanjang 4 cm.
Dalam waktu dekat, Yayah merencanakan membuka cabang di Jl Pemuda, Cirebon. "Jadi yang jauh dari Jl. Pagongan bisa ke Jl. Pemuda saja", ujarnya sambil menambahkan ia telah membuka pula cabang di jl. Dr. Otten, Bandung.

EMPAL GENTONG
Meski namanya empal, sebetulnya lebih mirip soto daging atau jeroan sapi. Masakan khas Cirebon ini bisa ditemukan di warung Mang Darma. Ia sudah berjualan empal sejak tahun 1948 secara berkeliling di kota Cirebon. "Sekarang Bapak sudah tak mampu berjualan", tutur Casita (27), anak Mang Darma yang kini mengurus warung tersebut. "Soalnya sudah 80 tahun. Jadi harus istirahat di rumah", tambahnya lagi.
Awalnya, tutur Casita, Darma bekerja sebagai penumbuk bumbu pada penjual empal gentong lainnya. Lama-kelamaan, ia pun hafal bumbu empal gentong. Karena itulah sejak tahun '48, ia keluar dan membuka usaha sendiri dengan berjualan keliling. Kemudian sejak tahun '82, Darma mangkal di dekat rel kereta, tak jauh dari lokasi jualan saat ini. "Di tempat ini baru sekitar 5 tahun," jelas Casita.
Sesuai dengan namanya, daging dan jeroan ini dimasak di dalam gentong dari tanah liat selama lebih dari 10 jam. Yang dimasak juga tidak terbatas hanya daging, tetapi juga jeroan seperti limpa, paru, hati, usus, babat, bahkan kepala sapi pun masuk. "Soalnya memang ada yang suka," jelas Darma.
Dalam sehari, warung Darna bisa kedatangan 100 orang. Untuk itu ia menyediakan 25 kilogram daging dan jeroan! Makanya tak heran kalau hasilnya bisa mencapai Rp 700 ribu per hari. Belum termasuk bila ia mendapat pesanan untuk rapat, arisan, atau pesta.
Pembeli bisa memilih daging atau jeroan yang dikehendakinya. Setelah itu daging dalam gentong tadi akan dipotong kecil-kecil dan disiram dengan kuah. Di atasnya lalu ditaburi bawang goreng dan daun bawang. Empal gentong bisa disajikan dengan nasi atau lontong, sesuai selera pengunjung.
Kini empal gentong Mang Darma dijual Rp 5.000 per porsi. Sebagai pelengkap, biasanya disediakan kerupuk lambak (kerupuk kulit kerbau) yang didatangkan dari Plered, disebut derokdok. Selain di Jl. Slamet Riyadi, empal gentong Mang Darma juga bisa di temukan di beberapa tempat di Cirebon seperti di Pujagalana, Stasiun Kereta Cirebon atau di Grage Mal yang semuanya dikelola anak-anaknya. Di Jakarta, Empal gentong Mang Darma bisa ditemukan di daerah Bintaro.


TAHU GEJROT
Tak banyak orang yang tahu mengapa tahu yang disantap bersama saus kecokelatan ini dinamakan tahu gejrot. Tetapi kata sebuah sumber nama itu diambil dari cara memberi saus yang digejrotkan (dikeluarkan dari botol melalui lubang dengan cara dikocok-kocok). Biasanya penjual tahu gejrot menyediakan 2 piring terbuat dari tanah liat seukuran telapak tangan orang dewasa. Piring pertama digunakan untuk tahu goreng yang sudah di iris-iris. Piring kedua berisi ramuan khas yang terdiri dari bawang merah, cabe, dan garam. Bumbu ini kemudian diulek lalu ditambahkan saus berupa campuran gula merah dan kecap tadi yang dibubuhi sambil digejrot kan tadi.
Penganan ini bisa ditemukan di hampir setiap sudut kota Cirebon. Salah satu pedagangnya adalah Sarkim (32) yang sudah 10 tahun menjajakan dagangan ini. Daerah operasinya meliputi jalan-jalan utama Cirebon seperti Pagongan, Karanggetas, dan Siliwangi. Ia berjualan sejak jam 9 pagi hingga 5 sore.
Tahu-tahu ini diambilnya dari seroang bandar tahu gejrot di daerahnya sekitarCiledug, 35 km ke arah timur Cirebon. Karena bergabung dengan bandar tahu gejrot ini, ia berkesempatan mengikuti acara-acara resmi di kota Cirebon yang menghadirkan makanan-makanan khas Cirebon. Dalam satu hari ia bisa mendapatkan keuntungan hingga 20 ribu rupiah. "Lumayanlah untuk biaya makan sehari-hari", tuturnya.

OLEH-OLEH KHAS CIREBON
Kecuali makanan khas di atas, ada pula makanan Cirebon lain yang berupa keringan yakni kerupuk udang, rangginang, emping, klitik (butiran jagung yang dipukul gepeng lalu digoreng dengan rasa asin dan manis), encrod (keripik singkong pedas), kerupuk melarat, rebon, ikan asin, petis udang, dan terasi. Nah, oleh-oleh ini bisa didapat di Pasar Pagi, pasar tradisional yang terletak di Jl. Karanggetas atau di Jl. Lemah Wungkuk.
Yang paling sering dicari orang adalah kerupuk melarat. Warnanya kuning, merah, atau hijau, dibuat dari tepung tapioka. Rasanya manis-manis asin. Disebut melarat, karena digoreng di atas pasir. Rangginang yang terbuat dari ketan juga tersedia dalam berbagai jenis dan ukuran di pasar ini. Ada yang mentah, ada yang sudah digoreng. Rasanya pun bermasam-macam, ada yang manis, asin, pedas dan rasa udang.
Ikan asin jambal roti juga termasuk yang disukai banyak orang. Ikan asin ini bisa didapatkan dengan harga 20 - 22 ribu per kilonya. "Tergantung jenisnya mas. Ada yang agak keras atau yang renyah", ujar Mastiyah, seorang penjual di situ. Selain itu juga tersedia keripik yang terbuat dari kulit ikan jambal roti yang diiris tipis.

ES CUING
Es Cuing sebetulnya tak ubahnya dengan cincau hijau. Cara penyajiannya saja yang berbeda. Bila di sini orang menjual es cincau dengan sirup yang dibuat dari gula putih, es cuing disantap dengan sirup gula merah, es serut dan siraman santan. Ciri khas lain, saat dimasak, sirup gula merah dicampur dengan sobekan daun pisang kering untuk memberi aroma. Rata-rata es cuing dijual Rp 500 per gelas. Rasanya sungguh segar di tengah teriknya suhu udara Cirebon yang cukup menyengat.
MI KOCLOK DAN TEH POCI
Mi selalu terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Cirebon pun memiliki mi yang khas yang disebut mi koclok. Salah satu kedai mi koclok terdapat di depan Keraton Kasepuhan Cirebon.
Memakan Mi Koclok sebaiknya dalam keadaan perut lapar. "Rasanya sangat gurih, sehingga cepat kenyang", tutur Enah, yang sudah 7 tahun berjualan di situ. Gurihnya mi berasal dari kuah yang terdiri dari campuran kaldu ayam dan santan yang sangat kental. Sedangkan isinya berupa mi telor yang telah direbus, irisan telur rebus, daging ayam, taoge, dan kol. Semua ini lalu disiram dengan kuah gurih yang masih panas. Harga per mangkuk Rp 3.000.
Di komplek ini pula bisa ditemukan teh poci. Minuman hangat ini harganya Rp 2.500 disajikan dalam poci kecil terbuat dari tanah liat serta gelas yang berisi gula batu. Di komplek Keraton Kasepuhan ini terdapat sekitar 8 kedai yang menyediakan teh poci. Tentu masih ada jajanan lain seperti, nasi goreng, soto ayam, sate kambing, dan gule.



EMPING DAN INTIP
Bila Anda menyusuri Jl. Raya Gunung Djati menuju Indramayu, maka akan Anda temui emping dan intip. Kedua makanan ini memang sudah sejak lama menjadi home industry di daerah ini sejak puluhan tahun lalu.
"Sudah 20 tahun lebih saya membuat dan menjual emping", tutur Ikhsan (61). Menurutnya ada sekitar 20 lebih rumah tangga yang membuat usaha emping ini. Biasanya ia membuat emping seminggu sekali dengan bahan 100 kg tangkil (mlinjo) yang didatangkan dari Banten, Kuningan, atau Rajagaluh.
Mlinjo kemudian disangrai dengan pasir panas selama kurang lebih 15 menit, lalu dipukul untuk memecahkan kulit serta mengeluarkan dagingnya. "Dagingnya yang berwarna putih inilah yang diolah menjadi emping yang tipis, atau kripik mlinjo yang kecil-kecil", tuturnya.
Emping ini dijualnya sekitar Rp 20 ribu hingga Rp 24 ribu per kilonya. Terkadang ia menerima pesanan untuk ekspor ke Singapura, Malaysia, atau Arab. Kegiatan pembuatan emping akan meningkat menjelang muludan (memperingati Maulid Nabi). Di saat-saat seperti itu ia membutuhkan 8 kwintal mlinjo
Pengusaha emping biasanya juga membuat intip, makanan yang terbuat dari kerak nasi. Kerak nasi yang terdapat di dasar panci ini dilepaskan, lalu dijemur hingga kering. Setelah itu digoreng hingga mengembang dan diberi bumbu penyedap. Jika ingin yang manis, bisa diberi larutan gula merah. Sementara untuk yang asin, diberi ramuan yang terdiri dari bawang putih, ketumbar, santan, gula, dan garam. Bumbu ini dioleskan ketika intip baru saja diangkat dari penggorengan sehingga aromanya sangat menggoda. Rasanya renyah sekali, mirip-mirip dengan rangginang. Harganya? "Murah kok, cuma Rp 8.000 sekilo", ujar Endah, seorang pembuat dan penjual intip.
BUBUR SOP AYAM
Bubur biasanya disajikan tanpa tambahan kuah karena sudah mengandung banyak air. Tetapi di Cirebon justru disajikan dengan banyak kuah. Tentu beras yang dimasak tidak selunak dan sebasah bubur, tetapi agak lebih kering. Namanya Bubur sop ayam.
Kuahnya berisi irisan kol, soun, dan taoge. Menjelang disajikan, bubur ditambah kedelai goreng, irisan daging ayam, daun bawang, bawang goreng, kecap, merica, dan kerupuk.
Bubur ini banyak dijual berkeliling dengan gerobak di berbagai sudut kota Cirebon. Kalaupun ada yang mangkal biasanya di depan pertokoan atau supermarket. Salah satunya Sunardi (32). Pedagang yang telah menggeluti dagangannya 5 tahun ini mangkal tepat di seberang supermarket Matahari pada persimpangan antara Jl. Dr. Cipto dan Jl. Tuparev. Setiap hari ia bisa menghabiskan 4 kg beras. Sunardi menjual buburnya seharga Rp 2.000,-.

SATE KALONG
Ini bukan sate dari kalong atau kelelawar, tetapi dari daging biasa. Bila dinamakan sate kalong, cuma karena dijualnya pada malam hari saat kalong beroperasi. Sate kalong terbuat dari daging kerbau yang ditumbuk lembut bersama gula. Tiap tusuk sate saling menempel hingga membentuk seperti kipas. Sebelum di sajikan, sate dilepaskan satu-sama lain lalu dipanggang di atas arang. Setelah matang, dihidangkan dengan bumbu kacang seperti biasa dan lontong.
Sate kalong pun dijual secara berkeliling. Harga per tusuknya rata-rata Rp 200. Sehari seorang pedagang sate kalong, bila laku, bisa menghabiskan sekitar 2 kilogram daging kerbau.

DOCANG
Docang biasanya dijual berkeliling di pagi hari hingga siang hari dengan gerobak dorong. Agak sulit juga menemukannya. Tetapi jika ingin mencari yang mangkal, Anda bisa menemukannya di dalam Pasar Gunung Sari atau di depan Supermarket Yogya, di gang kecil antara dua toko.
Docang terbuat dari lontong yang diiris-iris kecil, ditaburi parutan kelapa segar serta irisan daun singkong yang telah direbus. Kemudian disiram kuah panas yang berisi dage (sejenis oncom atau tempe bungkil) yang dihancurkan, sehingga mengapung di bagian atas kuah. Sebelum disajikan, ditaburi kerupuk kecil-kecil berwarna putih.
Docang dijual dengan harga sekitar Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per porsi. Setiap hari, Bu Ida, salah seorang penjual docang yang berjualan sejak pukul 7 hingga pukul 12 siang mengaku bisa menjual sampai 100 porsi.
Kenapa tak berjualan sampai sore hari? "Docang tak cocok dinikmati sore atau malam hari. Jadi percuma saja menjualnya sore hari pasti tidak laku." sdp@Miftakh Faried/Foto-foto : Miftakh


Sujiwo >> dicopy dari www.sedap-sekejap.com

Posted by imelda :: 3:53 PM :: 0 comments

Post / Read Comments

---------------oOo---------------