BoGaRiA
Tuesday, May 02, 2006 Jalan-jalan ke Jakarta -2-

ASINAN KAMBOJA
Sesuai dengan namanya, asinan kreasi Ny. Isye ini berlokasi di Jalan Kamboja, Rawamangun, Jakarta Timur. Sejak dibuka tahun 1986, Asinan Spesial Ny. Isye ini sudah laris manis. "Maklum kami tangani secara spesial," ujar Toto Suharto, suami Ny. Isye, pemilik kedai ini.
Bicara soal spesial, ternyata bukan cuma pembuatannya yang khusus, pemilihan bahan pun dilakukan secara istimewa. Selada, wortel, mi, ketimun, dan taoge, misalnya hanya dibeli di penjual langganan di Pasar Cipinang. Bahkan untuk kol yang kebutuhannya setiap hari 15 kilogram, khusus didatangkan dari Lembang, Jawa Barat. Begitupun dengan kerupuk mi yang di"impor" dari Bogor. "Soalnya kerupuk mi buatan Bogor dibuat dari campuran tepung sagu dan terigu. Jadi lebih renyah," jelas Isye.
Toh, tak hanya di dua kota itu pasangan ini berburu bahan demi kelezatan asinan mereka. Kacang tanah bumbu sang asinan mereka datangkan dari Tuban. Alasannya, kacang tanah dari Jawa timur itu lebih gurih dan pas dijadikan bumbu asinan.
Untuk menghasilkan asinan yang lezat itu, Isye punya trik khusus. "Saya pakai gula pasir, bukan gula merah seperti umumnya yang dibuat orang. Supaya tahan lama, air yang digunakan pun air matang," papar Isye.
Soal tahan lama memang bukan omong kosong. Menurut Isye asinan buatannya mampu bertahan hingga 1 minggu. "Bahkan seorang pelanggan saya yang membawa asinan saya ke Amerika bilang, asinan saya bisa bertahan sampai 1 bulan," kata Isye bangga Di kedai yang relatif kecil dan sederhana yang cuma bisa menampung 30 - 40 orang itu, Isye boleh dibilang tak kerepotan melayani pembelinya. Kecuali karena dibantu 10 karyawannya, para pelanggannya lebih suka memesan lewat telepon. Selain itu, ia pun sudah membuka dua cabang di Food Plaza Pasaraya Blok M dan Pasaraya Manggarai. Mereka juga kerap ambil bagian di acara-acara festival makanan yang kerap di gelar di berbagai Mal di Jakarta.

GADO-GADO BOPLO
Di Jakarta gado-gado Boplo merupakan trade mark gado-gado. Tak heran, gado-gado ini sudah "beredar" selama 29 tahun. Padahal awalnya, sang pemilik, Ny. Juliana Hartono cuma memulai dari hobi mencoba-coba resep. Keisengannya ternyata membawa hasil. Kini gado-gado buatannya bukan main lakunya. "Satu hari saya membutuhkan 50 kilogram kacang, lo," cetusnya bangga. Ketika pertama kali berjualan Aye, panggilan Juliana, membuka kedainya di rumahnya, di daerah pasar Boplo, Kebon Sirih. Karena laku keras, ia pindah ke tempat yang lebih besar di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat yang sekarang dikelola saudara iparnya, Ny. Esther.

Keistimewaan gado-gado Boplo terletak pada kacangnya. Kalau biasanya orang membuat gado-gado dengan kacang tanah, Aye menambahkan kacang mede. Makanya harganya pun 2 kali lipat gado-gado umumnya. Satu piring gado-gado Boplo dijual dengan harga Rp 8.000. Trik ini ditemukan Aye tahun 1985. Dan ternyata semakin menambah jumlah pelanggannya. Berapa banyak perbandingan kacang tanah dan kacang mede, cuma Aye yang tahu. "Saya yang memegang resepnya. Dan resep itu pun sudah saya patenkan, lo," tandasnya.
Kini Aye sudah membuka dua cabang di Perumahan Kelapa Gading dan di Diamond Food Court Mal Kelapa gading. Malah khusus untuk wilayah Kelapa Gading, kata Aye, "Saya menyediakan jasa antar ke rumah."
Khusus untuk hari Minggu di Kelapa Gading, baru-baru ini Aye juga menyediakan nasi uduk dan nasi ulam. Sementara di Jl. Wahid Hasyim Aye cuma buka Senin hingga Sabtu. Dari ketiga kedai itu, Aye mengaku, mendapat pemasukan sekitar Rp 15 juta. "Uang itu selain untuk beli bahan, juga untuk menggaji 12 karyawan."
Gado-gado yang diawali keisengan ini bukan cuma mengantarkan Aye pada kehidupan yang lumayan mapan, tetapi juga sebuah penghargaan dari Tim Penggerak Aku Cinta Makanan Indonesia Departemen Pangan/Bulog pada bulan April 1994.

MI JAWA
Kalau Anda pecinta bakmi, singgahlah di Bakmi Jawa yang terletak Jl. Penjernihan, Pejompongan, Jakarta Pusat. Tak kurang dari 6 macam bakmi bisa Anda cicipi di sana. Mulai dari bakmi telur, bakmi kepala, bakmi uritan, bakmi paha, bakmi brutu, sampai bakmi rempela ati. Semua itu tersedia dalam versi rebus dan goreng.
Bukan cuma mi yang ditawarkan Sentanoe Kertonegoro (60). Sesuai namanya, restoran ini juga menyuguhkan aneka makanan lain khas Yogyakarta seperti, gudeg, tahu guling, lotek jawa, mangut lele, dan carang gesing. Tak ketinggalan pula wedang ronde, dawet dan jajan pasar asal Jawa Tengah seperti jenang gempol, lumpia, dan ledre. Pendeknya segala jajanan khas Jawa Tengah bisa Anda temukan di sana.
"Restoran ini memang saya buka lebih untuk pelestarian budaya ketimbang usaha bisnis," kata Sentanoe yang mengaku khawatir makanan tradisional kita tersisih dari makan luar negeri. Itu makanya Sentanoe yang juga dosen Ekonomi di beberapa perguruan tinggi di Jakarta ini enggan disebut pengusaha. "Saya lebih bangga dikatakan pengamat budaya," tandasnya.

Awalnya, Sentanoe merasa prihatin dengan nasib makanan tradisional daerah asalnya yang dijual di kaki lima dengan penanganan seadanya. Bakmi jawa yang menurutnya ibarat "makanan kebangsaan" warga Yogya merupakan makanan istimewa yang patut diangkat ke tempat yang lebih terhormat.
Akhirnya ia menghubungi penjual bakmi jawa langganannya di Jl. KHA. Dahlan Yogyakarta, Pak Rakiman. Ia menawari Rakiman berjualan di Jakarta. Akhirnya dibukalah kedai bakmi jawa yang pertama di Jl. Rempoa Raya tahun 1995. Setelah laris, Sentanoe pun membuka cabang di Penjernihan.
Selain Rakiman, Sentanoe juga mengajak ahli masak lain dari Bantul. Mereka diminta mendidik tenaga masak di Jakarta sampai bisa. Perkakas pun sengaja ia datangkan dari Yogya. Misalnya, poci, gelas, dan stoples. Karyawannya yang berjumlah 30 orang itu pun datang dari Gunung Kidul, Yogyakarta.
Karena tujuan semula untuk melestarikan budaya, maka interior restoran pun didesain khas Jawa. Di beberapa sudut tampak digelar makanan khas tadi, lengkap dengan pikulan yang khas. Para pelayannya pun menggunakan seragam batik khas Yogya. Sambil makan, para pengunjung ditemani gending jawa. Suasananya betul-betul romantis.
Diakui Sentanoe, selain kelezatan makanannya, suasana rumah makannya turut menunjang kelarisan restorannya. "Menurut pengamatan saya ada 3 tipe pengunjung restoran saya. Yang pertama, orang yang ingin makan. Setelah itu orang yang bernostalgia dengan suasana Yogya, dan orang yang ingin memperkenalkan makanan Yogya kepada temannya. Banyak, lo, public figure yang juga gemar makan di sini. Titik Puspa, Adnan Buyung Nasution, dan Muladi termasuk pelanggan saya," kata Sentanoe bangga.
Meski lebih menekankan unsur budaya, rumah makan ini cukup mendatangkan keuntungan. "Ya, setiap bulan omzetnya mencapai Rp. 75 juta," kata pria yang tengah menyusun buku Yogyakarta 2000 ini.

BUBUR AYAM CIDENG
Kalau cuma melihat tempatnya, tak pernah Anda sangka, Bubur Ayam Cideng ini punya segudang penggemar. Bayangkan, kedai yang terletak di kawasan Pasar Thomas, Cideng, Jakarta Pusat ini cuma mampu menampung 15 pengunjung saja. Tapi cobalah, duduk di situ dalam 2 jam, niscaya Anda akan melihat arus pengunjung yang silih-berganti tiada henti. Sementara di jalan, antre berjajar mobil-mobil mewah. Para pemiliknya rela makan di dalam mobil ketimbang tak kebagian tempat.
Udin (56 th), sang pemilik, sudah tak ingat kapan ia mulai merintis usahanya. "Pokoknya, usahanya saya teruskan dari Ibu yang semula berjualan ketoprak. Tapi karena nggak laku, saya banting stir ke bubur ayam," jelas Udin.
Karena makin hari penggemarnya makin berjibun, bukan cuma Udin yang beralih ke bubur ayam, ibu pun meninggalkan ketopraknya dan membantu Udin. Bahkan kemudian makin banyak lagi pembantu Udin.
Yang ditawarkan kedai ini cuma dua macam, bubur ayam biasa dengan harga Rp 4 ribu dan bubur ayam kuning telur seharga Rp 5 ribu. "Buburnya juga nggak macam-macam, kok. Pake ayam, kedele goreng, seledri, tongcai, dan emping. Tapi kecapnya memang khusus. Sejak dulu saya cuma percaya pada kecap cap Bebek sejak harganya masih seratus perak," papar Udin.
Masih ada rahasia khusus. "Berasnya harus beras Cianjur. Dan saya selalu bikin ayamnya sendiri, mulai dari motong sampai masak," cetus Udin.
Tak sedikit orang yang mengajak Udin bekerja sama membuka cabang, namun Udin selalu menolak. "Bukan karena sombong, tetapi saya rasa sekarang ini sudah cukup. Yang penting, kan, sudah ada buat makan dan biaya anak sekolah." Karena merasa cukup pula Udin tak pernah menambah kebutuhan berasnya. Sejak dulu ia cuma menggunakan 5-6 kg beras setiap hari. Jika sudah habis, ya sudah. Tak heran kedainya cuma buka selama 3 jam. "Penghasilan saya pun cuma Rp 500 ribu setiap hari. Tapi itu sudah cukup, kok, untuk menggaji karyawan," kata Udin yang hanya membuka warungnya sampai hari Sabtu itu.

NASI UDUK KARET
Meski cuma kedai, jangan remehkan Nasi Uduk Yoyo yang letaknya di Karet Bivak ini. Umurnya pasti mengujutkan Anda. Hampir setengah abad! Ya, sudah 46 tahun nasi uduk ini bertahan kendati pemiliknya, Pak Yoyo yang asli Betawi ini sudah meninggal 20 tahun lalu. Kendati juga warung nasi uduk makin ingar-bingar di Jakarta.
Kini kedai nasi uduk ini dikelola Asmawi (45 th) dan istrinya, Rohani (41). Sehari pasangan ini memasak 20 liter beras, 5 ekor ayam untuk ayam goreng, dan 5 kilogram daging sapi untuk empal. Jumlah ini mengingkat kalau ada pesanan utnuk arisan atau rapat kantor. "sebelon krisis lebih banyak lagi,"kata Rohani.
Selama 46 tahun ini sudah beberapa kali kedai ini pindah-pindah. Entah karena lokasinya akan dibangun gedung mewah atau sebab lainnya. Toh, kedai ini tetap saja sederhana. Ukurannya pun cuma muat 20 tempat duduk. Makanya setiap jam makan siang selalu terlihat antrean panjang. Namun orang tetap saja bersedia mampir makan di situ.
Di kedai ini para pengunjung sudah bisa makan kenyang dengan hanya menyediakan uang Rp 1.500. Tentu ini cuma untuk sepiring nasi uduk polos tanpa lauk. "Tapi karena nasi uduknya enak, ya, cukuplah," kata seorang pengunjung.
Sebagai teman nasi uduk, Rohani juga menyediakan ayam goreng serundeng, empal, ati-ampela goreng, dan gorengan kambing. "Cuma kalau malam saya nggak menyediakan gorengan kambing," jelas Rohani. Menurut pasangan ini, nasi uduk mereka tidak ada keistimewaannya dalam pembuatan. "Biasa aje kayak nasi uduk pada umumnya. Tetapi memasaknya saya tetap pake kayu bakar supaya rasanya lebih gurih," jelas Rohani.

SOTO GEBRAK
Menunya memang hanya ringan-ringan saja. Cuma soto-sotoan, dari soto ayam, soto daging, babat, usus, campur, dan rawon. Semuanya dipukul rata dengan harga cukup murah, 4 ribu rupiah seporsinya. Tetapi pengunjung yang datang ke sini harus punya hati "tabah". Sejak datang Anda sudah dikageti suara benturan menggelegar dari botol kecap yang dibantingkan ke meja. Benturannya cukup membuat jantung berdebar. Karena itu di dinding tertulis huruf besar-besar, "Senyum Boleh, marah Jangan" seakan mohon maaf terhadap kejutan-kejutan yang bakal Anda terima sepanjang makan di situ.
Meski kedai soto yang terletak di Jl. Setiabudi, Jakarta Pusat ini sudah didirikan sejak tahun 1972, namun ciri khas "gebrakannya" baru dimulai tahun 1990. "Terus-terang saya memperoleh idenya dari Soto Dog (artinya gebrak, Red) Jawa Timur," kata Purwanto, penanggung jawab Soto Gebrak Setiabudi.
Tapi, lanjut Purwanto, karena khawatir disangka menyajikan soto dari daging anjing, akhirnya disepakati bernama soto gebrak. Begitu keras gebrakan botol kecap berbentuk seperti botol jin ini (karena leher botolnya memanjang dan membesar dibagian bawah
Bukan cuma itu akibat gebrakan si botol kecap. Meski sudah diingatkan, toh, pengunjung yang protes tak sedikit jumlahnya. Maklumlah mereka yang tak terbiasa, merasa tidak bisa menikmati soto dengan santai. Apalagi mereka yang latah, pasti malu dibuatnya. Seperti seorang gadis yang tengah menikmati pesanannya, berseru "Eh copot-copot, ada apaan sih?" dengan tampang bingung. Tampaknya ia pengunjung baru. Sementara pengunjung lainnya yang sudah tahu, hanya senyam-senyum saja melihatnya.
Selain soto, Soto Gebrak Jaya Mulya memiliki menu andalan sate telur muda dan sate usus ayam goreng. Untuk sate telur muda, jangan coba-coba mencarinya di atas pukul 11 siang kalau tak mau kehabisan. "Padahal setiap hari saya membawa 30 hingga 50 tusuk," jelas Anton yang membuka kedainya sejak pukul 9 pagi ini. Dalam satu hari, ia menggunakan sekitar 40 kg daging sapi, 17 kg usus ayam, dan campuran jeroan yang terdiri dari usus, babat dan paru sekitar 15 kg. Pendapatan kotor yang diperolehpun lumayan, sekitar 3 juta rupiah per hari.
Di samping di Jl Setiabudi, Soto Gebrak ini bisa ditemukan di kawasan Jl. Tebet Utara I tepat di tikungan Casablanca dan juga di Jl. Pondok Gede yang menuju arah Lubang Buaya. ), setiap dua tahun, ia terpaksa mengganti botol kecapnya karena pecah .

GULTIK
Gulai memang bukan masakan asli Jakarta, namun Jakarta tidak kekurangan jajanan gulai. Di tikungan Jl. Mahakam dan Bulungan, Jakarta Selatan, misalnya, berderet kedai-kedai gulai yang akrab dikenal sebagai gultik (gule tikungan). Bahkan oleh para penggemarnya yang umumnya anak-anak muda istilah itu kemudian diplesetkan jadi gule tikus.
Uniknya, kedai-kedai yang berderet di sana tidak saling bersaing. Mereka kompak satu sama lain. Meski tanpa aturan tertulis, para pedagang berjualan bergantian. Baik hari maupun jamnya. Pedagang yang satu segera angkat kaki, begitu pedagang lainnya datang. Makanya kedai-kedai ini bisa buka selama 24 jam karena penjualannya bergantian. Tiap penjual kebagian 3 hari berjualan setiap minggunya.
Harganya boleh dibilang cukup miring. Dengan Rp 2 ribu, kita sudah bisa menikmati satu mangkuk gulai plus nasi beserta kerupuk. Rasanya pun cukup lezat. Daging sapinya empuk, kuahnya dari santan kental, dan bumbunya pun pas. "Daging, sih, memang kita pilih yang berkualitas," kata Tawar seorang penjual di situ yang mewarisi dagangannya dari kakeknya, Wongso Sutomo.
Meski harus dagang bergantian dan bukan satu-satunya kedai yang berdiri di situ, usaha Tawar cukup laris. Sehari ia bisa menghabiskan 5 - 6 kilogram daging. "Kalau malam Minggu bisa 9 kilogram," cetus Tawar yang bisa mengantongi Rp 300 ribu setiap kali berjualan.



YANG MULAI LANGKA, KUE RANGI DAN KERAK TELUR
Di samping jajanan di atas yang mangkal di kedai-kedai atau restoran, ada juga jajanan keliling yang mulai langka ditemui. Di antaranya kue rangi dan kerak telur. Bagi Anda, terutama bukan penduduk Jakarta, kue rangi mungkin terdengar asing. Bentuknya mirip kue pancong atau bandros, ukurannya saja yang lebih kecil. Rasanya jauh berbeda karena kue rangi dibuat dari bahan yang sederhana. Cuma campuran tepung kanji dan kelapa parut. Setelah dipanggang, kue disajikan dengan larutan gula merah.
Harganya relatif sangat murah. Hanya Rp 100 tiap sekat atau Rp 1.000 tiap lembar yang terdiri dari 12 sekat kue. Tetapi jangan tanya perjuangan untuk mendapatkannya. Boleh jadi hari ini Anda melihat pedagang kue rangi lewat di jl. Palmerah, besok ditunggu beberapa jam pun tak Anda temui.
Menurut Opik, pedagang yang berhasil ditemui Sedap Sekejap, para pedagang memang menjajakan dagangannya tak tentu arah. Yang penting laku. Ada beberapa daerah yang masih cukup sering dilewati pedagang kue rangi. Di antaranya, daerah Tanah Abang, Palmerah, dan Muara Angke. "Sebetulnya, sih, masih ada sekitar 30 pedagang yang berjualan di daerah ini," kata Opik.
Satu-satunya pedagang kue rangi mangkal yang bisa ditemukan Sedap Sekejap adalah di daerah Sabang. Nama penjualnya, Buang Sujana. Pria kelahiran Bogor berusia 34 tahun ini sudah berjualan kue rangi sejak tahun 1989. Usaha ini didapatkan dari orang tuanya yang dulunya juga penjual kue rangi. Bahkan cetakan kue rangi yang digunakannya saat ini juga warisan dari orang tuanya.
"Kalau beli sekarang mahal, bisa sampai lima puluh ribu", ujarnya. Mula-mula ia menjual kue ini secara berkeliling sampai akhirnya mangkal di tempatnya sekarang sejak tahun 1994. Di tempat itu pun kadang dagangannya tak habis. Kalau sudah begitu, Buang akan pergi menyusur jalan sekitarnya. "Kalau untung, dapatlah satu hari Rp 40 ribu," katanya.
Kerak telur pun termasuk makanan agak sulit didapat saat ini meski tak sesusah kue rangi. Paling tidak dengan pergi ke Monas, Anda bisalah menemukan 5 tukang kerak telur. Bentuknya bulat pipih, penuh dengan taburan serundeng kelapa.
Cara membuatnya cukup unik. Ketan yang sudah direndam air dimasukkan ke wajan yang sudah panas, ditekan-tekan hingga membentuk lingkaran. Kemudian ditaburi kelapa parut yang sudah dikukus. Di atasnya lalu dipecahkan 1 butir telur dan dibubuhi garam dan vetsin. Ketika setengah matang, wajan dibalikkan untuk memanggang bagian atas kerak telur. Kerak telor tidak akan tumpah karena bagian ketannya sudak merekat pada wajan. Setelah matang, kerak telur disajikan bersama serundeng (kelapa parut yang disangrai) dan bawang goreng.
Untuk 1 buah kerak telur seperti ini dijual seharga Rp 3.500 hingga Rp 6 ribu. "Biasanya kita lihat-lihat pembelinya. Kalau tampak berduit, ya, kita naikkan," kata Nur Ali, seorang penjual kerak telur di Monas.
Setiap hari Ali berjualan sejak pukul 4 sore hingga 11 malam. Dalam waktu sepanjang itu ia cuma bisa menjual 17 porsi. Untuk 17 porsi itu, ia membutuhkan 1 liter beras ketan putih dan 1,5 kg telur. Tentu sebelum krismon, penghasilan Ali lebih besar lagi. Maklum mereka yang jalan-jalan ke Monas pun dulu lebih banyak ketimbang saat ini. Jadi, tak heran kalau para pedagang kerak telur undur diri dari usahanya. Bukankah penawaran selalu sejalan dengan permintaan? sdp@Miftakh Faried/ Foto-foto : Miftakh

Posted by imelda :: 3:46 PM :: 0 comments

Post / Read Comments

---------------oOo---------------